Pelaku Industri Kreatif Aceh Soroti Kebijakan Tidak Konsisten dan Timpang
BANDA ACEH, MATANUSANTARA — Gelombang kritik terhadap ketidakpastian kebijakan pemerintah daerah kembali datang dari pelaku industri kreatif Aceh. Mereka menilai pembatalan berbagai acara berskala besar dalam beberapa tahun terakhir bukan lagi sekadar persoalan teknis, melainkan potret ketidakkonsistenan regulasi dan penyalahgunaan kewenangan.
CEO PT Erol Perkasa Mandiri (EPM) Steffy Burase menyebut pola hambatan yang dihadapi para penyelenggara event kini semakin mengkhawatirkan.
Menurutnya, nyaris semua event nasional di Aceh berakhir dengan kendala administratif mendadak atau alasan syariat yang sudah diklarifikasi aman oleh lembaga resmi.
“Bukan hanya satu EO yang mengalami ini. Hampir semua acara berskala nasional selalu berakhir dengan hambatan administratif, perubahan aturan mendadak, atau alasan syariat yang sebenarnya sudah dinyatakan ‘lolos’ oleh Dinas Syariat Islam dan MPU. Sementara itu, konser-konser lokal yang tidak mengikuti tata aturan justru dibiarkan berlangsung,” ujar Steffy
Steffy menegaskan persoalan ini tidak semata terkait syariat, tetapi juga muncul melalui mekanisme administrasi yang ia nilai tidak sehat.
“Ada yang lapangannya digembok di hari-H, ada yang diberikan tagihan retribusi dengan angka yang tidak rasional, ada yang izin sudah lengkap tetapi tetap diberhentikan. Situasi seperti ini membuat EO mana pun tidak bisa bekerja dengan kepastian,” katanya.
Tak hanya itu, menurutnya kasus yang dialami perusahaannya menunjukkan adanya maladministrasi yang nyata.
“Dalam kasus kami, alasan syariat tidak bisa dipakai karena seluruh persyaratan keagamaan sudah lolos sejak awal. Yang muncul justru tagihan yang tidak masuk akal dan tindakan penggembokan venue. Ini bukan persoalan syariat, ini masalah tata kelola,” tegas Steffy
Dampaknya, kata Steffy, tidak hanya menimpa penyelenggara, tetapi seluruh rantai ekonomi kreatif Aceh.
“Setiap acara besar melibatkan ratusan pekerja,
vendor, UMKM, crew lokal, talent, dan pelaku usaha lainnya. Ketika acara besar selalu dihambat, ekonomi Aceh kehilangan perputaran uang miliaran rupiah,” jelasnya.
Ia juga mengungkap fenomena baru: warga Aceh kini memilih pergi ke luar daerah untuk menikmati konser atau hiburan.
“Lebih dari seribu warga Aceh tercatat bepergian ke luar provinsi untuk menghadiri konser nasional. Ini bukti bahwa kebutuhan masyarakat tetap ada, hanya saja tidak bisa dipenuhi di Aceh karena kebijakan yang tidak konsisten,” ujar Steffy
Steffy menegaskan bahwa para pelaku industri kreatif tidak menolak aturan, tetapi menuntut regulasi yang adil, transparan, dan konsisten.
“Kalau aturan berubah-ubah tergantung siapa penyelenggaranya, itu bukan lagi syariat dan bukan lagi administrasi itu ketidakadilan. Suara yang kami bawa adalah suara ratusan pelaku industri kreatif Aceh yang ingin bekerja dengan tenang, transparan, dan profesional,” katanya.
Ia mendorong pemerintah Aceh untuk membuka ruang dialog dengan para pelaku industri kreatif agar setiap kebijakan memiliki landasan jelas dan tidak merugikan rakyat.
“Kami hanya meminta pemerintah membuat standar yang jelas, adil, dan tidak semena-mena. Kalau ingin menjaga syariat, lakukan dengan konsisten. Kalau ingin menegakkan aturan, lakukan dengan prosedur yang benar. Yang diperlukan rakyat Aceh hari ini adalah kepastian, bukan larangan yang berubah-ubah,” tutupnya.
Hingga berita ini ditayangkan, awak media masih berupaya mendapatkan klarifikasi resmi dari pihak terkait.
Editor: Ramli
Penulis: Ahmad

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan