BULUKUMBA, MATANUSANTARA – Konflik tapal batas antara Kabupaten Sinjai dan Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, hingga kini belum menemukan titik terang meski telah bertahun-tahun dimediasi.
Berbagai upaya pertemuan yang dilakukan pemerintah daerah maupun provinsi selalu berakhir tanpa hasil konkret.
Ketidakjelasan tapal batas ini berdampak langsung pada masyarakat di wilayah perbatasan.
Mereka menghadapi persoalan administrasi kependudukan, kesulitan mendapatkan pelayanan publik, hingga potensi gesekan sosial akibat klaim wilayah yang tumpang tindih.
Aktivis lokal yang juga mahasiswa asal Sulawesi Selatan, Rahim, menilai pemerintah seakan hanya hadir sebatas wacana tanpa memberi kepastian hukum yang nyata.
Ia menyebut mediasi yang bersifat seremonial justru semakin melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Pemerintah pusat tidak bisa lagi hanya jadi penonton. Kementerian Dalam Negeri harus mengambil alih kendali penuh dan membuat keputusan final yang mengikat semua pihak,” tegas Rahim, Minggu (17/08/2025).
Menurutnya, masalah Sinjai–Bulukumba hanya satu contoh dari banyak konflik batas wilayah di Indonesia.
Dari Sumatera hingga Papua, persoalan serupa kerap muncul dan menunjukkan lemahnya sistem penyelesaian tapal batas di tingkat nasional.
Rahim juga mengingatkan momentum peringatan HUT RI ke-80 tahun ini harus menjadi pengingat bahwa arti merdeka adalah kepastian hukum bagi setiap jengkal tanah Indonesia.
“Tanpa penyelesaian, kita sedang menyiapkan bom waktu sosial. Jangan tunggu konflik horizontal baru kemudian bertindak,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa kepastian batas wilayah bukan sekadar urusan administrasi, tetapi juga menyangkut rasa keadilan dan persatuan bangsa.
Penyelesaian tapal batas, kata dia, adalah pondasi penting untuk menghadirkan pelayanan publik yang lancar dan kehidupan masyarakat yang harmonis.
“Pemerintah pusat harus hadir sekarang, bukan besok, bukan lusa. Rakyat Sinjai dan Bulukumba berhak keluar dari ketidakpastian ini,” pungkasnya.