Mata Nusantara

Akurat Tajam & Terpercaya

Tambang Galian C Ilegal di Maros Rugikan Warga, PUKAT Sulsel Desak Aparat Bertindak

Sejumlah truk pengangkut tanah merah diduga berasal dari tambang galian C ilegal di Desa Pattontongan, Dusun Bangun Polea, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, terlihat lalu lalang tanpa pengawasan, Selasa (7/10/2025).

MAROS, MATANUSANTARA  — Aktivitas tambang galian C di Desa Pattontongan, Dusun Bangun Polea, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, diduga kuat beroperasi tanpa izin resmi. Di balik klaim legalitas di atas kertas, praktik di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran hukum, kerusakan lingkungan, dan ancaman keselamatan bagi warga.

Pantauan lapangan menemukan tumpukan tanah merah berserakan di bahu Jalan Poros Moncongloe. Truk-truk pengangkut material tanah keluar masuk sejak pagi hingga petang, meninggalkan debu tebal, ceceran tanah licin, dan kerusakan jalan.

Maing (61), warga sekitar, mengaku selama ini terpaksa mengambil peran mengurangi risiko kecelakaan.

“Saya yang selalu menyiram ceceran tanah dari truk-truk itu supaya tidak membuat pengendara tergelincir,” ujarnya dengan nada kesal, Selasa 07 Oktober 2025.

Menurutnya, sudah banyak pengendara motor jatuh akibat tanah licin dan lalu-lalang kendaraan tambang.

“Saya berharap penegak hukum segera turun tangan. Kalau dibiarkan, bisa memakan korban lebih banyak,” tegasnya.

Keluhan warga juga sudah diterima Kepala Dusun Bangun Polea, Mursalim, yang baru dua bulan menjabat. Ia mengaku tak pernah mendapat informasi resmi soal keberadaan tambang itu.

“Awalnya saya tidak tahu ada tambang di situ. Begitu warga melapor, saya langsung datangi pengelolanya dan minta mereka membersihkan jalan,” tutur Mursalim.

Namun, imbauan tersebut tak digubris. Aktivitas tambang tetap berjalan meski saat musim hujan.

“Saya sudah tegaskan, kalau hujan, jangan dulu menambang. Tapi mereka tetap beroperasi,” katanya.

Dampak lingkungan pun mulai terasa. Saluran air tersumbat lumpur tambang hingga menyebabkan banjir ke rumah-rumah warga.

“Dulu sebelum ada tambang, wilayah kami tidak pernah banjir. Sekarang rumah orang tua saya ikut kebanjiran,” ungkapnya.

Dia juga menuturkan, jalan poros kerap memakan korban. Seorang ibu rumah tangga dan anggota TNI pernah jatuh akibat jalan licin yang ditimbulkan material tambang.

“Saya menduga kuat tambang itu tidak memiliki izin. Pengelolanya pun belum pernah datang membahas soal izin ke pemerintah setempat,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, pemerintah Kabupaten Maros maupun aparat penegak hukum belum memberikan keterangan resmi terkait aktivitas tambang ilegal tersebut.

PUKAT Sulsel: Aparat Jangan Tutup Mata

Menanggapi temuan ini, aktivis antikorupsi dari Pusat Kajian Advokasi Anti Korupsi (PUKAT) Sulsel, Farid Mamma, menilai praktik tambang ilegal tersebut bukan hanya pelanggaran lingkungan, tetapi juga bisa mengarah pada tindak pidana korupsi perizinan dan pembiaran oleh oknum aparat.

“Kalau ada aktivitas pertambangan tanpa izin dan tetap berjalan lancar, itu menandakan adanya kelengahan serius atau pembiaran. Aparat penegak hukum tidak boleh diam,” ujar Farid kepada Matanusantara.co.id, Jumat (10/10)

Ia menegaskan, kerusakan lingkungan dan keselamatan warga adalah dasar kuat untuk penyelidikan terpadu oleh kepolisian dan kejaksaan.

“Ini bukan sekadar urusan tambang, tapi soal penegakan hukum dan keselamatan publik. Jika ada indikasi suap, kolusi atau permainan izin, itu masuk ranah tipikor,” tambahnya.

Farid mendesak aparat penegak hukum segera bergerak melakukan penyelidikan sesuai regulasi yang berlaku.

“Kapolres, Kejari, dan Dinas ESDM harus turun tangan. Jangan tunggu korban jiwa. Pemerintah daerah pun bisa dikenai sanksi administratif jika lalai mengawasi,” tegas Farid.

PUKAT Sulsel juga mendorong warga terdampak untuk melaporkan aktivitas tambang tersebut ke APH secara resmi agar proses hukum lebih cepat berjalan.

Desakan Tindak Cepat

Warga dan aktivis kini menunggu langkah konkret aparat. Mereka berharap tindakan tegas diberikan kepada pengelola tambang yang telah merusak lingkungan, membahayakan pengguna jalan, dan membuka peluang praktik penyimpangan hukum.

“Kalau terus dibiarkan, korban akan bertambah, dan ini bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Sulsel,” tutup Farid.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!