MAKASSAR, MATANUSANTARA –Dinas Pemberdaayan Perlindungan Perempuan dan Anak (DPPA) melalui UPTD PPA Kota Makassar mencatat, sepanjang 2025 sebanyak 265 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Informasi itu dipaparkan oleh Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) UPTD PPA Makmur bahwa dari ratusan kasus itu, anak menjadi korban terbanyak
“Kasus KTA tercatat tertingi sebanyak 146 kasus,” katanya, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin 09 Juni 2025.
Ia memerinci yakni 98 anak perempuan dan 48 anak laki-laki menjadi korban kekerasan. Data tersebut berdasarkan catatan UPTD PPA Makassar mulai Januari-Mei 2025.
“Kekerasan terhadap perempuan (KTP) juga cukup tinggi mencapai 39 orang korban. Selanjutnya, kasus anak berhadapan hukum (ABH) sebanyak 28 orang, 23 di antaranya anak laki-laki dan sisanya lima anak perempuan,’ ungkapnya.
Sedangkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati posisi keempat dengan jumlah 19 kasus. Tercatat sebanyak 18 korban merupakan perempuan, dan hanya satu korban laki-laki.
“Untuk kasus penyintas disabilitas, satu orang korban laki-laki dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPSA) ada dua kasus masing-masing satu laki-laki dan satu perempuan,” jelasnya.
PWI Sulsel Digandeng DPPPA Makassar Laksanakan Diskusi Tentang Perlindungan Perempuan
UPTD PPA juga menerima laporan anak yang memerlukan perlindungan khusus, yakni satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Dari jumlah penanganan UPTD PPA Makassar, tercatat 265 kasus, dengan korban perempuan paling banyak mencapai 183 orang, dan untuk 82 anak laki-laki.
Makmur menambahkan, penanganan hukum terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak tetap mengacu pada Undang-Undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Mengatur pencegahan, perlindungan, akses keadilan, pemulihan, dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual.
Begini Modus Pelaku Cabul di Makassar Yang Sudah Ditangkap Polisi
“Penanaganannya kita mengacu pada Undang-undang TPKS. Tapi kalau kekerasan biasa atau hanya membentak (kekerasan verbal), itu bisa saja kita mediasi untuk mnecari jalan perdamaian,” ujarnya.