MAKASSAR, MATANUSANTARA — Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi dan Tata Kelola (PUKAT) Sulawesi Selatan, Farid Mamma, mengungkapkan bahwa keberadaan Toko Kesuma yang menjual minuman beralkohol tepat di sebelah masjid di Jalan Perintis Kemerdekaan telah melanggar sedikitnya 12 regulasi sekaligus, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pelanggaran masif ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di Kota Makassar.
“Berdasarkan kajian mendalam yang kami lakukan, Toko Kesuma telah melanggar 12 regulasi yang mengatur peredaran dan penjualan minuman beralkohol. Ini bukan pelanggaran ringan, melainkan pelanggaran sistemik yang menunjukkan kegagalan tata kelola perizinan,” tegas Farid diwawancarai di kantor PUKAT, Jumat (21/6/2025).
Disperindag Akhirnya Bergerak, Rekomendasi Penindakan Toko Kesuma Segera Dikirim ke Satgas
Farid merinci bahwa pelanggaran pertama terjadi pada tingkat nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, yang pada Pasal 7 menyebutkan bahwa minuman beralkohol hanya dapat dijual di hotel, bar, dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. “Toko Kesuma jelas bukan hotel, bar, atau restoran berlisensi,” ungkap Farid.
Pelanggaran kedua adalah terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol beserta perubahannya, termasuk Permendag Nomor 25 Tahun 2019 sebagai Perubahan Keenam dan Permendag Nomor 06/M-Dag/Per/1/2015 tentang Perubahan Kedua. Regulasi ini secara tegas melarang penjualan minuman beralkohol di lokasi yang berdekatan dengan tempat ibadah dan fasilitas sosial lainnya.
Disperindag Siap Buat Rekomendasi ke Satgas Guna Tindaki Toko Kesuma di Daya
Pelanggaran ketiga menyasar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160 Tahun 2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol. Kenaikan tarif cukai minuman beralkohol ini berlaku sejak 1 Januari 2024 untuk semua golongan minuman beralkohol baik yang berasal dari dalam negeri maupun impor. “Pertanyaannya, apakah Toko Kesuma sudah membayar cukai sesuai ketentuan terbaru?” tanya Farid.
Pada tingkat daerah, Farid mengungkap pelanggaran keempat terhadap Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum yang mengatur zonasi usaha perdagangan. Pasal 8 ayat (2) secara eksplisit melarang usaha penjualan minuman beralkohol dalam radius 200 meter dari tempat ibadah, sekolah, dan fasilitas sosial.
Babak Baru!! Kisah Minol Nekat Nongkrong Samping Tempat Ibadah Yaitu Toko Kesuma
Pelanggaran kelima adalah terhadap Peraturan Walikota Makassar Nomor 5 Tahun 2011 yang dengan tegas melarang usaha hiburan berjarak radius 200 meter dari sarana sekolah maupun rumah ibadah. “Ini adalah regulasi khusus Kota Makassar yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam pemberian izin,” tegas Farid.
Pelanggaran keenam menyangkut Peraturan Daerah Kota Makassar tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menetapkan kawasan tersebut sebagai zona campuran dengan fungsi permukiman dan kegiatan keagamaan. “Keberadaan toko minuman keras jelas tidak sesuai dengan peruntukan kawasan yang telah ditetapkan,” jelas Farid.
DPM-PTSP Kota Makassar Segera Tindaki Toko Kesuma di Daya Yang Jual Minol Meski Tetangga Masjid
Farid juga menyoroti pelanggaran ketujuh terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mengamanatkan setiap penerbitan izin harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan. “Apakah analisis dampak sosial sudah dilakukan sebelum memberikan izin kepada Toko Kesuma? Kami sangsi hal ini pernah dilakukan,” ujar Farid.
Pelanggaran kedelapan adalah terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengawasi kegiatan usaha demi menjaga ketertiban dan keharmonisan masyarakat. “Pemerintah Kota Makassar telah gagal menjalankan fungsi pengawasan ini,” kritik Farid.
Pelanggaran kesembilan menyasar Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha yang memberikan kewenangan pencabutan izin jika terbukti melanggar ketentuan zonasi. “Dasar hukum untuk mencabut izin sudah ada, tinggal political will dari pemerintah daerah,” tegas Farid.
Pelanggaran kesepuluh adalah terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengamanatkan sistem pengawasan perizinan berbasis risiko untuk mencegah terjadinya pelanggaran. “Sistem pengawasan ini jelas tidak berjalan optimal di Makassar,” ungkap Farid.
Masjid Tetangga Toko Kusuma di Daya, Minol Tetap Laris, Aturan Jadi Pajangan?
Pelanggaran kesebelas menyangkut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang mewajibkan pemerintah menjaga keharmonisan antarumat beragama. “Keberadaan toko ini berpotensi menimbulkan ketegangan sosial yang tidak perlu,” jelas Farid.
Pelanggaran terakhir atau kedua belas adalah terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengamanatkan transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Pembiaran berkepanjangan ini menunjukkan tidak adanya responsivitas pemerintah terhadap aspirasi masyarakat,” kritik Farid.
Babak Baru!! Kisah Minol Nekat Nongkrong Samping Tempat Ibadah Yaitu Toko Kesuma
Farid menegaskan bahwa dengan 12 pelanggaran regulasi ini, tidak ada alasan lagi bagi Pemerintah Kota Makassar untuk tidak bertindak tegas. “Dasar hukumnya sudah sangat lengkap dan jelas. Yang dibutuhkan sekarang hanya keberanian dan konsistensi dalam penegakan hukum,” ujar Farid.
Direktur PUKAT juga mempertanyakan integritas proses perizinan yang telah dilakukan. “Bagaimana mungkin sebuah toko yang jelas-jelas melanggar 12 regulasi bisa mendapat izin dan beroperasi hingga sekarang? Ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam sistem perizinan di Makassar,” tegas Farid.
Farid mengingatkan bahwa penjualan minuman beralkohol tidak boleh berdekatan dengan fasilitas umum seperti rumah ibadah dan sekolah, sebagaimana telah diatur dalam berbagai peraturan daerah di Indonesia. “Ini bukan aturan baru atau tidak jelas. Semua sudah diatur dengan tegas dalam berbagai regulasi,” jelasnya.
PUKAT juga mengancam akan melaporkan kasus ini ke instansi pengawasan yang lebih tinggi jika Pemerintah Kota Makassar tidak segera bertindak. “Kami akan melaporkan dugaan maladministrasi dan pembiaran sistemik ini ke Ombudsman, Inspektorat, bahkan ke Kementerian Dalam Negeri jika perlu,” ancam Farid.
Farid menekankan bahwa kasus Toko Kesuma telah menjadi ujian kredibilitas Pemerintah Kota Makassar dalam menegakkan supremasi hukum. “Masyarakat tidak meminta hal yang berlebihan, hanya konsistensi dalam penegakan 12 regulasi yang sudah ada. Jika pemerintah gagal dalam hal sesederhana ini, bagaimana rakyat bisa percaya pada komitmen penegakan hukum secara keseluruhan?” tanya Farid retoris.
PUKAT juga menyatakan akan terus memantau perkembangan kasus ini dan siap memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang merasa dirugikan. “Ini adalah momentum untuk membuktikan bahwa hukum berlaku sama untuk semua, tanpa pandang bulu dan tanpa pengecualian,” tutup Farid.
Minol Samping Masjid, Cermin Lemahnya Pengawasan Pemkot Makassar
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Makassar belum memberikan respons resmi terhadap tuduhan pelanggaran 12 regulasi yang disampaikan PUKAT Sulawesi Selatan. Masyarakat terus menunggu langkah konkret dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan polemik yang telah berlangsung berbulan-bulan ini.