LUWU, MATANUSANTARA –Achmad Yusran, Ketua LSM Lingkungan Hidup Forum Komunitas Hijau menegaskan, ketika standar keselamatan bertabrakan dengan realitas daya tampung alam.
Otomatis keanekaragaman hayati di tengah hening alam pegunungan Latimojong, terusik oleh dentuman peledakan dari aktivitas tambang emas Masmindo yang nyaring terdengar.
“Meski pihak perusahaan telah memastikan bahwa semua sudah sesuai standar keselamatan. Pertanyaan sederhaanya, standar keselamatan siapa dan untuk siapa,”kata Achmad Yusran Selasa (24/06/2025).
Klaim Resmi Vs Kenyataan Sosial-Ekologis
Menurut Yusran, pihak Masmindo menyebut kegiatan blasting (peledakan) dilakukan dengan terukur dan terkendali, serta mengikuti seluruh peraturan terkait bahan peledak. Bahkan telah melakukan sosialisasi kepada pemerintah dan masyarakat.
“Namun realitas di lapangan, justru bergetar lebih keras dari klaim pihak perusahaan. Selain sejumlah mahasiswa pencinta alam yang mendengar langsung aktivitas tersebut. Ketika mendaki ke Gunung Latimojong.
Suara lirih pun mengalir dari mulut warga sekitar yang mengeluhkan suara dentuman, getaran tanah, hingga kekhawatiran akan retakan rumah dan longsor susulan,”jelas Yusran.
Lebih lanjut, Ketua Forum Komunitas Hijau ini menyebut aktivitas blasting, justru mempercepat kerapuhan struktur geomorfologi kawasan hulu DAS Rongkong–Walanae yang sudah dikenal rawan longsor.
“Pastinya daya tampung air kian turun drastis, sungai mengeruh, dan resapan alami terganggu akibat pembukaan lahan tambang. Lalu apa yang diukur dan siapa pula yang terukur. Jika standar yang dibanggakan kadang hanya mencakup keselamatan teknis di titik operasi, bukan keselamatan ekologis dan sosial jangka panjang,”kata Yusran.
Ironisnya, lanjut Yusran bahwa dinamika Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Luwu pun seolah buta terhadap risiko bencana berbasis ekosistem.
Pemerintah daerah kabupaten Luwu masih terjebak pada logika pertumbuhan ekonomi sesaat. Regulasi disusun dengan pena korporat, bukan pena rakyat yang tinggal di lereng gunung dan bantaran sungai.
Retorika Menuju Tindakan Regeneratif
Yusran menjelaskan sejumlah problem solving dari rangkaian yang bukan sekadar kosmetik, tetapi mengarah pada pengarusutamaan keselamatan ekologis dan masyarakat. Diantaranya para pihak wajib melek terhadap mitigasi dan kontijensi bencana, sebelum jauh lebih hebat petaka yang pasti dirasakan oleh masyarakat yang terpapar dampak, diantaranya :
1. Audit Lingkungan Independen dan Publikasi Data. Melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan warga dalam mengevaluasi daya dukung & daya tampung wilayah tambang. Audit harus menyentuh aspek geologi, hidrologi, serta potensi bencana ekologis akibat blasting.
2. Revisi RTRW Luwu dengan Pendekatan Ekoregion. Tata ruang harus berbasis ekosistem DAS dan zona rawan bencana, bukan semata potensi investasi. Libatkan komunitas adat dan warga dalam menyusun zona perlindungan ekologis.
3. Moratorium Blasting pada Musim Hujan. Peledakan harus dihentikan sementara di musim penghujan karena risiko longsor meningkat. Harus ada protokol adaptif sesuai dengan kondisi cuaca dan topografi terkini.
4. Peta Risiko dan Jalur Evakuasi Komunitas. Perlu dibuat peta risiko bencana dan jalur evakuasi partisipatif, terutama di kawasan terdampak tambang. Lakukan simulasi bencana bersama masyarakat secara berkala.
5. Transparansi Sosialisasi: Bukan Sekadar Formalitas. Sosialisasi harus terdokumentasi dengan baik dan bukan hanya kepada elite birokrasi. Warga harus paham hak-haknya, risiko aktivitas tambang, dan prosedur jika terjadi bencana.
“Peledakan telah diukur, tetapi suara warga masih terpendam. Jika kita hanya mengukur kadar amonium nitrat tapi tak mengukur rasa takut ibu-ibu dan anak-anak di pinggir gunung. Maka standar kita bukanlah standar kehidupan, tapi hanya statistik dingin. Sebab Kabupaten Luwu tak hanya butuh ruang yang ditata, akan tapi butuh masa depan yang diselamatkan. Intinya Kab Luwu menghadapi tekanan ekologis serius akibat aktivitas industri ekstraktif, seperti pertambangan emas di daerah pegunungan Latimojong,”Yusran memungkasi.