MAKASSAR, MATANUSANTARA –Seorang gadis remaja berusia 24 tahun diduga jadi korban kekerasan seksual atau pelecehan disalah satu rumah sakit (RS) spesialis di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).
Dari Informasi yang dihimpung, peristiwa pelecehan tersebut diduga terjadi di RS Spesialis Mata JEC Orbitha Makassar.
Sementara kasus pelecehan teresebut saat ini ditangani unit perlindungan perempuan dan Anak (PPA) pada Satreskrim Polrestabes Makassar statusnya masih dalam tahap penyelidikan.
“Baru ada disposisi ke unit PPA untuk penanganannya, kami juga baru mau panggil saksi-saksi yang disebut korban untuk mintai keterangan terkait dugaan pelecehan tersebut” kata Kanit PPA Polrestabes Makassar, Iptu Hartawan kepada matanusantara.id, Selasa (24/09/2024)
Iptu Hartawan, juga mengatakan pelapor dan terlapor diduga seorang oknum pegawai di RS Spesialis Mata JEC Orbitha Makassar.
“Korban menjabat sebagai staff biasa dan terduga pelaku yang dilaporkan menjabat sebagai human resources development (HRD)” ujarnya
“Korban juga baru mau diperiksa tambahan hari ini” sambung Iptu Hartawan.
Sebelumnya diberitakan, kasus dugaan kekerasan seksual kembali terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu, 22 September 2024.
Seorang korban yang merupakan staf di sebuah rumah sakit spesialis, akhirnya berani melapor setelah diduga mengalami pemaksaan untuk berhubungan badan oleh atasannya.
Pelaku yang memegang posisi pimpinan diduga menggunakan kekuasaannya untuk menakut-nakuti korban, dengan ancaman pemecatan jika keinginannya tidak dipenuhi.
Korban yang didampingi oleh petugas dari Dinas Perlindungan Perempuan dan aktivis, korban mendatangi Polrestabes Makassar pada Sabtu siang, untuk melaporkan perbuatan atasannya.
Dugaan tindakan kekerasan seksual tersebut terjadi di lingkungan kerja korban, yang notabene seharusnya menjadi tempat aman bagi pekerja.
Dari hasil asesmen Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Makassar, ditemukan adanya ancaman yang dilayangkan pelaku kepada korban jika ia menolak.
Kronologi Pelecehan
Pelecehan ini diduga dimulai sejak Mei 2024, di mana korban, yang berinisial RT, seorang wanita berusia 24 tahun, merasa terpaksa menuruti perintah pelaku demi mempertahankan pekerjaannya.
Keluarga korban, Intan Cahyani mengatakan, kekerasan yang dialami korban sudah berlangsung berulang kali. Bahkan hingga korban dicekik pelaku. Korban diancam akan dipecat jika tidak menuruti keinginan pelaku.
“Melapor karena anggota keluarga saya mendapat kekerasan seksual oleh atasannya di salah satu rumah sakit di Makassar, rumah sakit spesialis, sejak bulan Mei tahun ini,” bebernya.
Meskipun demikian, korban mulai mengalami gangguan mental akibat ketakutan yang terus menghantuinya setiap kali bertemu pelaku di tempat kerja.
“Karena mau mempertahankan pekerjaannya. Sampai terakhir mentalnya sudah rusak hingga melapor,” ucapnya.
Korban yang sudah bekerja selama lima tahun di rumah sakit tersebut akhirnya memberanikan diri untuk melapor, meski mengetahui konsekuensinya, yakni kehilangan pekerjaan yang selama ini menghidupinya.
“Sudah berulang kali. terakhir ini sampai dicekik leher korban. Diancam akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Kerja sudah lima tahun. Sudah jadi karyawan tetap,” tukasnya.
Selain ancaman dari pelaku, korban juga mendapatkan tekanan dari perusahaan untuk menjaga citra baik rumah sakit yang bergerak di bidang spesialis mata tersebut.
“Iya betul atasannya. Semoga tahun ini ditangani kasusnya dan pelaku ditangkap. Dicekik. Badannya diraba-raba. Tidak cuman fisiknya yang dihajar, mentalnya juga. Kalau kamu nda mau kayak gini, saya keluarkan di kantor. Belum tahu ada korban lain atau tidak,” terangnya.
Juru bicara korban, Alita Karen, menyebut, kondisi psikologis korban saat ini sangat tidak stabil. Setiap kali mengingat kejadian atau diminta bercerita, korban langsung gemetar, menandakan bahwa trauma yang dialaminya berada di luar batas wajar.
Saat didampingi oleh psikolog kemarin lanjut Alita, menjadi jelas bahwa tidak mungkin korban hanya mengarang cerita.
Alita menambahkan, jika peristiwa yang dialami korban adalah rekaan, tentu reaksinya akan berbeda. Namun dari pengamatan Alita, trauma yang ditunjukkan sesuai dengan kejadian nyata yang dialaminya.
“Itu sudah terjadi kalau saya ndak salah ingat, karena teman di kantor yang melakukan asesmen awal itu sejak Mei. Kemudian semakin ke sini semakin meningkat proses pelecehan itu, yang pertama hanya meraba kemudian meningkat lagi, proses lebih tidak hanya sekadar meraba,” ucap Alita.
Menurut cerita korban, tindakan tersebut adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan kepada perempuan, terutama korban yang belum menikah, sehingga trauma yang dialaminya sangat mendalam dan merusak kondisi mentalnya.
“Korban berani berbicara pada saat dia merasa dia sangat tertekan dengan perlakuan terakhir pelaku, pada saat pelaku memaksakan untuk berhubungan badan, korban merasa disinilah harus melawan, pada saat dia melawan dia kemudian dicekik oleh pelaku dan dia memutuskan mengambil sikap harus melapor tidak bisa dibiarkan seperti ini terus menerus,” bebernya.
Dia menyebut, tindakan terduga pelaku mengarah pada rudapaksa, namun korban berhasil melawan. Dalam proses perlawanan itulah, korban dicekik oleh pelaku.
Selain itu, terduga pelaku mengancam korban dengan mengatakan, dia akan dipecat dari pekerjaannya jika berani bicara. Pelaku juga mengancam akan menuntut korban jika melapor, bahkan mengklaim bahwa rekaman CCTV ada di pihaknya dan hanya pihak pelaku yang memiliki akses.
“Pertama diberhentikan dari pekerjaan, jika kamu speak up kamu akan dipecat kemudian saya akan menuntut, jadi pelaku mencari pembenaran di situ. Ini kan pada saat pelaku mendengar korban mau melapor,” ungkap Alita.
“Pelaku kemudian mengancam korban lagi, melalui WA yang mengatakan kalau kamu lapor saya akan lapor balik melalui pengacara korporat dan jangan lupa ada CCTV dan itu hanya kami yang bisa lihat,” lanjutnya.
Hingga saat ini, polisi belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan yang disampaikan korban. Korban saat ini didampingi aktivis perempuan dan UPTD PPA Makassar untuk pemulihan trauma serta proses hukum yang sedang berjalan. (*)