MAKASSAR, MATANUSANTARA –Hak imunitas advokat di Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bukanlah perlindungan mutlak tanpa batas. Terutama dalam kasus pencemaran nama baik, advokat tetap dapat diproses hukum jika tindakannya melampaui itikad baik dan kode etik profesi.
Pasal 16 UU Advokat mengatur bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XI/2013 memperluas cakupan hak imunitas ini hingga aktivitas advokat di luar persidangan. Namun, ketentuan ini tidak berlaku mutlak.
Minol Samping Masjid, Cermin Lemahnya Pengawasan Pemkot Makassar
Farid Mamma seorang advokat senior di Makassar mengatakan, imunitas advokat akan gugur apabila advokat melakukan tindakan yang bersifat menghina, memfitnah, atau menyebarkan informasi palsu dengan sengaja di luar konteks pembelaan klien.
Selain itu, kata dia, pelanggaran kode etik profesi, seperti menyerang karakter pihak lawan melalui media sosial tanpa dasar hukum yang sah, juga dapat menyebabkan advokat kehilangan perlindungan imunitas.
Ketika Ban Bekas Lebih Panas dari Argumen Advokat Didepan Polrestabes!
Farid mencontohkan kasus nyata yang menjadi sorotan adalah perkara Fredrich Yunadi, seorang advokat yang mengklaim hak imunitas saat dituntut karena dianggap menghalangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di mana Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa imunitas hanya berlaku untuk tindakan profesional yang dilakukan dengan itikad baik, dan tidak dapat digunakan sebagai tameng untuk tindakan yang melanggar hukum.
Lebih lanjut, kata Farid, advokat yang menyebarkan pernyataan menghina melalui media sosial seperti Facebook, Tiktok dan sejenisnya juga dapat dijerat Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik.
Imunitas Advokat vs Pencemaran Nama Baik, Kasus WNR Bikin Penasaran!
“Hal ini menegaskan bahwa penggunaan media sosial oleh advokat harus tetap dalam koridor etika dan hukum,” ucapnya.
Lebih lanjut Farid menyebutkan, kunci utama hak imunitas adalah itikad baik, yang berarti tindakan advokat harus relevan dengan pembelaan klien, tidak bermaksud merugikan pihak lain, dan sesuai dengan kode etik profesi.
Imunitas Advokat vs Pencemaran Nama Baik, Kasus WNR Bikin Penasaran!
“Jika terbukti ada niat jahat (mens rea) untuk merusak reputasi pihak lain, advokat dapat dikenakan tuntutan pidana,” sebutnya.
Dewan Kehormatan Advokat, kata dia, juga berperan dalam mengawasi dan menindak advokat yang melanggar kode etik, sehingga hak imunitas bukanlah pelindung mutlak bagi tindakan yang melanggar hukum.
Masyarakat, kata Farid, perlu memahami bahwa hak imunitas advokat bukan harga mati. Perlindungan ini hanya berlaku selama advokat menjalankan tugasnya secara profesional dan beritikad baik. Jika melampaui batas tersebut, advokat tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, termasuk dalam kasus pencemaran nama baik.
Advokat WNR Dipolisikan, PUKAT Sulsel: Hak Imunitas Tidak Bersifat Mutlak
“Dengan pemahaman ini, diharapkan advokat dapat menjalankan profesinya dengan integritas dan masyarakat pun dapat lebih kritis dalam menilai tindakan advokat, sehingga tercipta iklim hukum yang adil dan transparan di Indonesia khususnya Sulsel,” Farid menandaskan.