MAKASSAR, MATANUSANTARA –Aksi demonstrasi yang dihadiri oleh ratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Advokat Sulsel (KAS) di depan Markas Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Makassar kabarnya berujung ricuh, Jumat 30 Mei 2025.
Ketegangan berawal ketika seorang dari pendemo hendak membakar ban bekas, namun tiba-tiba dihalau oleh seorang pria berbaju hitam yang diduga merupakan aparat kepolisian.
“Saat aksi ada tiga yang diamankan karena membakar ban bekas namun hanya tindakan pre-emtif dilakukan, setelah itu dilepaskan kembali,” ucap salah seorang anggota kepolisian di lokasi unjuk rasa kemarin.
Pukat Dukung Kapolsek Biringkanaya dan Lurah Daya Jaga Ketertiban dan Kenyamanan Masyarakat
Terhadap peristiwa demonstrasi hingga penanganan kepolisian terhadap aksi demonstrasi tersebut, seorang pengacara senior di Makassar Farid Mamma dimintai tanggapannya menjelaskan pertama terkait peraturan penyampaian aspirasi atau demonstrasi di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Poin-poin penting dalam aturan tersebut, sebut Farid, yakni demonstrasi adalah bentuk penyampaian pendapat di muka umum secara lisan, tulisan, atau cara lain secara demonstratif. Kemudian setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum sebagai bagian dari hak demokrasi yang dijamin UUD 1945 Pasal 28E dan UU HAM No. 39 Tahun 1999.
Propam Akan Selidiki Kasus Tangkap Lepas Bandar Narkoba oleh Polres Jeneponto, PUKAT Turut Dukung
Selanjutnya, lanjut Farid, penyampaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan secara tertulis kepada kepolisian setempat paling lambat 3×24 jam sebelum kegiatan dimulai, bukan memerlukan izin, hanya pemberitahuan. Surat pemberitahuan harus memuat tempat, waktu, bentuk kegiatan, penanggung jawab, alat peraga, dan jumlah peserta.
Demonstrasi juga, kata Farid, harus dilaksanakan secara aman, tertib, dan damai, dengan penanggung jawab yang bertanggung jawab atas kelancaran acara.
Terlepas dari itu, dalam aturannya, demonstrasi atau penyampaian aspirasi juga terdapat larangan yakni berdemonstrasi di tempat tertentu seperti lingkungan istana, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan, stasiun, terminal, dan objek vital nasional serta pada hari besar nasional.
Pukat Sulsel Minta Kanwil Imipas Selidiki Asal Usul HP Yang Ditemukan Ditangan WBP Lapas Bollangi
Selanjutnya dalam aturan juga, lanjut Farid, kepolisian diberi kewenangan mengamankan dan berkoordinasi dengan penyelenggara untuk menjaga ketertiban. Demonstrasi tidak boleh dilakukan pada hari besar nasional dan ada batasan waktu pelaksanaan, misalnya di tempat terbuka antara pukul 6 pagi sampai 6 sore.
“Yah singkatnya, demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin, tetapi harus mengikuti tata cara pemberitahuan dan aturan agar berlangsung aman dan tertib sesuai UU No. 9 Tahun 1998 dan peraturan terkait,” terang Farid dimintai tanggapannya, Sabtu (31/5/2025).
Kewenangan Polisi Jika Pendemo Anarkis
Farid mengatakan, aparat kepolisiam memiliki wewenang untuk mengamankan massa yang melakukan tindakan seperti membakar keranda mayat atau ban bekas saat unjuk rasa, karena tindakan tersebut termasuk pelanggaran hukum yang mengancam ketertiban dan keamanan umum.
Polisi, kata dia, bertugas memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, dan menegakkan hukum sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian serta Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
Pukat Dukung Kapolsek Biringkanaya dan Lurah Daya Jaga Ketertiban dan Kenyamanan Masyarakat
Dalam situasi tersebut, lanjut Farid, Polisi dapat memberikan peringatan, menghentikan dan membubarkan kegiatan yang melanggar hukum, serta melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran dan perbuatan anarkis, termasuk pembakaran yang membahayakan. Namun, tindakan pengamanan harus dilakukan secara profesional, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menghindari kekerasan yang berlebihan sesuai Perkapolri 7/2012.
“Singkatnya Polisi berwenang mengamankan dan menindak massa yang membakar keranda mayat atau ban bekas saat unjuk rasa karena tindakan tersebut mengganggu ketertiban umum dan melanggar hukum,” ujar Farid.
Imunitas Advokat vs Pencemaran Nama Baik, Kasus WNR Bikin Penasaran!
Dia mengatakan, aksi unjuk rasa yang berujung ricuh dengan pembakaran keranda atau ban bekas mengandung beberapa aspek melawan hukum yang perlu dikaji secara komprehensif.
Di dalam Pasal 170 KUHP misalnya, kata Farid, di situ mengatur tentang kekerasan bersama-sama di muka umum yang mengakibatkan kerusakan barang. Unsurnya dapat terpenuhi ketika adanya penggunaan kekerasan fisik (pembakaran), dilakukan secara terang-terangan di area publik serta menimbulkan gangguan ketertiban umum.
Advokat WNR Dipolisikan, PUKAT Sulsel: Hak Imunitas Tidak Bersifat Mutlak
Kemudian bisa juga mencermati Pasal 187 KUHP yang mana mengancam pidana bagi pelaku pembakaran yang membahayakan keselamatan umum. Adapun unsur pasal tersebut terpenuhi jika ada penggunaan bahan bakar (bensin dalam botol) sebagai alat pembakar, potensi kebakaran yang mengancam fasilitas publik sekitar.
“Begitu juga dalam Perkapolri No. 9/2008 yang menyebutkan melarang tindakan anarkis dalam unjuk rasa seperti membakar benda sebagai bentuk provokasi, menghalangi tugas aparat dalam mengamankan lokasi,” terang Farid.
Dari Media Online ke Meja Polisi: Kisah Advokat Muda yang ‘Kebablasan’
Ia menyebutkan, unsur pidana yang terpenuhi yakni unsur objektif di mana ada pembakaran keranda di area publik (front kantor polisi), penghalangan terhadap upaya pemadaman api oleh petugas dan penggunaan alat/material berbahaya (bahan bakar cair). Sementara unsur subjektifnya, kata Farid, yakni unsur kesengajaan membawa peralatan pembakar, niat menciptakan situasi chaos untuk memaksa respons otoritas.
Saat ditanya mengenai penyampaian pendapat atau demonstrasi bisakah dilakukan di hari libur?, Farid mengatakan, meskipun dilakukan di hari libur atau libur nasional, aksi tetap harus memenuhi ketentuan.
Di antaranya, sebut Farid, ada pemberitahuan sebelumnya ke kepolisian (Pasal 256 KUHP Baru), larangan menggunakan simbol kematian (keranda) sebagai alat propaganda, kewajiban menjaga jarak 100 meter dari kantor vital negara (Permenkumham).
Jika hal tersebut dilanggar, Farid menyebutkan tentu ada konsekuensi hukum. Di mana pelaku dapat dijerat dengan kombinasi pasal yakni Pasal 170 KUHP dengan ancaman pidana penjara 5 tahun 6 bulan, Pasal 187 KUHP dengan ancaman pidana penjara 5 tahun kemudian ada denda hingga Rp10 juta yang tercantum dalam Pasal 256 KUHP Baru.
Tak hanya itu, kata Farid, aparat Kepolisian juga berwenang berhak melakukan pembubaran paksa berdasarkan Pasal 21 Perkapolri 9/2008 jika terdapat indikasi anarkisme.
“Tapi dengan tetap mengedepankan prinsip proporsionalitas. Meski hak demonstrasi dijamin UU, pembatasan tetap berlaku untuk menjaga keselamatan umum dan fasilitas publik,” jelas Farid.
Advokat WNR Dipolisikan, PUKAT Sulsel: Hak Imunitas Tidak Bersifat Mutlak
Selain dapat mengamankan pelaku langsung atau orang yang membakar keranda mayat atau ban bekas saat berdemonstrasi, kata Farid, Polisi juga dapat saja melakukan pengembangan kepada penyelidikan akan peran Aktor intelektual (dader actor) dalam aksi unjuk rasa yang berujung anarkis tersebut.
Aktor intelektual atau pelaku tak langsung, kata dia, dapat saja dijerat menggunakan Pasal 55 KUHP.
Pasal 55 tersebut mengatur pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tidak langsung dengan unsur ayat 1 (1) “Mereka yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan”.
“Contoh pemberi instruksi atau pembiaya aksi melalui pesan grup WhatsApp/mediasosial misalnya,” ucap Farid.
Kemudian ayat 1 (2) “Mereka yang sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan”.
“Ini terpenuhi jika ada bukti transfer dana untuk logistik aksi atau rekaman rapat perencanaan,” Farid menambahkan.
Tak hanya itu, Polisi dapat saja mendalami perbuatan Aktor Intelektual juga dengan menggunakan Pasal 160 KUHP. Di mana dengan pasal tersebut dapat menjerat penghasutan untuk melakukan kejahatan dengan kriteria adanya ujaran provokatif yang memicu kerusuhan.
“Contohnya berteriak dengan menggunakan kalimat Hajar… hajar atau bakar..bakar..bakar..!” di depan massa serta penggunaan simbol atau narasi yang mendorong aksi destruktif (keranda sebagai alat propaganda),” terang Farid.
Lebih lanjut, Farid menguraikan Pasal 170 KUHP atau kekerasan bersama-sama yang melibatkan aktor intelektual melalui penyediaan alat/bahan berbahaya berupa bensin dan molotov untuk aksi pembakaran serta koordinasi kelompok melalui kanal komunikasi terenkripsi.
Demikian juga dalam Perkapolri No. 7/2012 yang bisa digunakan mengancam pidana bagi otak aksi yang sengaja tidak memberitahukan rencana demonstrasi ke Kepolisian, membiarkan penggunaan fasilitas umum sebagai target perusakan.
Polisi juga bisa mendalami bukti digital yang relevan menggunakan riwayat transaksi keuangan mencurigakan sebelum aksi, log chat/perintah di platform digital dan testimoni saksi tentang rapat koordinasi terselubung.
“Sanksi kumulatif untuk aktor intelektual bisa dihukum pidana 6 tahun sebagaimana Pasal 55 jo. Pasal 170 KUHP denda Rp10 juta sebagaimana Pasal 256 KUHP baru,” Farid menandaskan.