Konflik Guru-Murid: Reinterpretasi Filosofis Adab di Pendidikan Beragama
BANDA ACEH, MATANUSANTARA — Ruang kelas dan halaqah pesantren yang seharusnya menjadi oase ketenangan kini kerap diwarnai konflik guru-murid. Kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid maupun sebaliknya, serta aksi murid merekam tindakan guru, menjadi fenomena yang menyedihkan dan viral.
Babak Baru!! Oknum Guru Akui Perbuatannya, Kasus Dilaporkan ke Polisi
Krisis ini terjadi justru di lembaga pendidikan beragama, tempat etika dan moral diajarkan. Menurut penulis, ini bukan sekadar masalah kedisiplinan, tetapi gejala degradasi makna Adab nilai yang seharusnya menjadi fondasi sebelum ilmu itu sendiri.
“Urgensi terpenting saat ini bukan menghukum lebih keras atau membuat peraturan lebih ketat, melainkan melakukan reinterpretasi filosofis etika Adab dalam relasi guru-murid kontemporer,” tulis Mahasiswa Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rizki Pradana S.ag melalui keterangan tertulis yang diterima matanusantara.co.id, Jumat (21/11/2025)
Kasus Iyusan Sukoco Jadi Sorotan, Pendidikan Mandailing Natal Desak Mediasi Damai
Keretakan hubungan guru-murid berakar pada pergeseran fundamental tata nilai. Guru, yang seharusnya diposisikan sebagai pewaris nabi (waratsat al-anbiya’), kini dipandang sebagai tenaga profesional, sementara murid dan orang tua sering menuntut seperti konsumen. Pergeseran ini meruntuhkan dasar ta’dzim, yang seharusnya bersifat spiritual.
Media sosial dan akses informasi instan memperparah krisis. Murid kini memiliki akses tanpa batas ke informasi, yang memicu arogansi epistemik. Kemampuan merekam dan memviralkan konflik membuat guru rentan terhadap persekusi publik, yang menipiskan wibawa mereka.
Lembaga pendidikan seringkali gagal menjadi penengah. Praktik otoritarianisme dan kekerasan atas nama disiplin masih terjadi, sementara ketika konflik meledak, solusi instan seperti mengeluarkan murid atau memindahkan guru lebih diprioritaskan daripada refleksi filosofis.
Heboh!! Kasus Guru SD Mangga Tiga Makassar, Pengacara: Klien Saya Difitnah Soal Persetubuhan
Solusi fundamental, menurut Rizki Pradana, adalah mengembalikan adab ke kedudukan filosofisnya. Adab dimaknai sebagai tindakan meletakkan ilmu, diri, dan relasi pada tempatnya yang benar, membangun jembatan etis antara hierarki pengetahuan dan bukan sekadar hierarki kekuasaan.
Reinterpretasi adab menuntut komitmen timbal balik. Murid harus menghormati otoritas ilmu (ta’dzim), bukan sekadar pribadi guru. Sebaliknya, guru harus menjaga integritas (amanah) dan keadilan (ihsan) dalam mendidik, menghindari kekerasan dan arogansi.
Oknum Guru SD di Makassar Lecehkan Muridnya, Ternyata Mengajar di SD Inpres Mangga Tiga
Kunci reinterpretasi adab terletak pada Tauhid. Relasi guru-murid menjadi tanggung jawab transendental. Konflik bukan pertarungan ego, tetapi pelanggaran etika kosmis yang harus diselesaikan dengan hikmah dan keadilan.
Implementasi filosofis ini harus diterjemahkan menjadi perubahan struktural: pelatihan guru berbasis ihsan, kurikulum reflektif untuk murid, forum musyawarah etika untuk analisis konflik, serta pendidikan adab bagi orang tua. Dengan begitu, pendidikan beragama dapat kembali menumbuhkan ilmu, karakter, dan adab yang luhur.
Editor: Ramli
Sumber: Ahmad

Tinggalkan Balasan