YOGYAKARTA, MATANUSANTARA — Langkah Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menangkap lima orang pemuda yang menjalankan praktik “ternak akun” judi online (judol) di Bantul menuai tanda tanya besar dari publik.
Bukan karena aktivitas judinya semata, melainkan karena alasan penangkapan yang diduga justru akibat mereka merugikan sistem bandar judol.
Penangkapan tersebut terjadi di sebuah rumah kontrakan di Banguntapan, Kabupaten Bantul. Kelima tersangka masing-masing berinisial RDS, NF, EN, DA, dan PA dituding menjalankan praktik judi secara terstruktur dengan memanfaatkan celah bonus akun baru dari situs-situs judi daring.
Namun ironisnya, yang jadi sorotan publik kini adalah, laporan siapa yang membuat aparat turun tangan? Patut diduga ini bentuk perlindungan terhadap bandar judol yang justru dirugikan oleh taktik para pemain?
Padahal, dalam arah kebijakan nasional, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya memberantas judi online sebagai bagian dari Asta Cita, yaitu visi besar membangun tatanan sosial-ekonomi yang sehat dan bersih dari penyakit masyarakat.
Presiden bahkan memberi atensi khusus agar aparat penegak hukum tidak hanya menyikat pemain kelas teri, tapi menyapu bersih jaringan dan penyokong bandar yang merusak tatanan moral bangsa.
Lalu mengapa justru komplotan kecil ini yang cepat diamankan hanya karena strategi mereka dianggap “merugikan bandar”?
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari beberapa media online nasional didalam penjelasan Kasubdit V Cyber Ditreskrimsus Polda DIY AKBP Slamet Riyanto bahwa kelimanya diamankan saat bermain.
“Mereka tertangkap tangan saat sedang berjudi, RDS ini bosnya,” ujar Slamet dalam konferensi pers.
Ia menerangkan, RDS adalah penyedia sarana, pemodal, dan pencari situs dengan promosi menggiurkan bagi akun baru. Empat tersangka lainnya berperan sebagai operator yang menjalankan akun-akun tersebut menggunakan komputer.
“Dia (RDS) yang menyiapkan link atau situsnya, kemudian menyiapkan PC dan menyuruh empat karyawan untuk memasang judi online,” ucapnya.
Para pelaku memanfaatkan pola algoritma situs untuk mendapatkan keuntungan dari sistem.
“Kalau judi kan seperti itu, akun baru dibuat menang untuk menarik pemain. Lama-lama dikuras habis,” jelas Slamet.
Dalam sehari, masing-masing komputer bisa mengelola hingga 10 akun. Dengan empat komputer, berarti sekitar 40 akun “dibesarkan” setiap hari demi menguras bonus dan peluang sistem.
Ditempat yang sama Kanit 1 Subdit V, Kompol Ardiansyah Rolindo Saputra menambahkan bahwa mereka untuk mengelabui bandar dengan cara mengganti-ganti kartu sim.
“Kartunya diganti-ganti untuk mengelabui sistem IP address. Tidak hanya mengambil keuntungan dari fee akun baru, tetapi juga memainkan modal yang ada di dalam termasuk bonus. Kalau untung dia withdraw, kalau kalah buka akun baru,” ujarnya.
Saat ini publik bertanya-tanya dengan penuh asumsi liar dan beberapa dugaan yang muncul dalam fikiran bahwa penangkapan ini adalab sebuah Penegakan Hukum atau “Perlindungan Sistem Bandar”?
RDS diketahui membayar para operatornya Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per pekan. Dalam penggerebekan, polisi menyita empat komputer, lima ponsel, cetakan dokumentasi, tangkapan layar situs judol, serta satu plastik berisi kartu SIM bekas.
Kelima tersangka kini ditahan dan dijerat dengan: Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan atas UU ITE, dan/atau Pasal 303 KUHP jo Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUHP, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Netizen: “Jangan Sampai Penegakan Hukum Dipakai Jadi Benteng Bandar Judol”
Aksi ini justru menimbulkan persepsi negatif di tengah masyarakat. Sejumlah netizen mempertanyakan arah penegakan hukum yang seharusnya memberantas bandar besar, namun kini justru terlihat memburu “pemain” kecil yang berupaya memanfaatkan celah sistem.
“Kalau rugikan bandar langsung ditangkap, kalau masyarakat dirugikan bandar kenapa enggak ada yang tangkap bandarnya?” tulis akun yang disembunyikan iidentitasnya.
Publik berharap atensi besar dari Presiden dan Kapolri dalam memerangi judi online tidak dibelokkan menjadi tindakan yang secara tidak langsung justru berpihak pada ekosistem judi itu sendiri.
Patut diduga apakah ini bentuk keberpihakan tak langsung terhadap bandar? Atau hanya kebingungan implementasi di lapangan? Jawaban itu kini dinanti, sebelum kepercayaan masyarakat pada agenda bersih-bersih judol nasional benar-benar ambruk.