BANTAENG, MATANUSANTARA –Kasus penahanan mobil tangki milik PT Ronal Jaya Energi yang mengangkut solar subsidi tanpa dokumen resmi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, menguak potensi besar praktik penyelewengan energi bersubsidi yang berimplikasi langsung pada kerugian keuangan negara.
Direktur Pusat Kajian Advokasi Antikorupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan, Farid Mamma, menilai peristiwa ini tidak bisa dilihat sekadar sebagai pelanggaran administratif, melainkan sebagai bentuk kejahatan terstruktur yang dapat dikenakan pasal-pasal pidana korupsi.
Farid menyebut bahwa solar subsidi bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari kebijakan fiskal negara yang diberikan kepada masyarakat tidak mampu, usaha kecil, dan sektor-sektor tertentu yang membutuhkan perlindungan. Ketika bahan bakar bersubsidi disalurkan tanpa izin resmi, dan dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak, maka itu adalah bentuk nyata dari pengalihan anggaran negara secara melawan hukum.
Jika tindakan itu memperkaya individu, korporasi, atau kelompok tertentu, maka jelas memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurutnya, Pasal 2 mengatur bahwa setiap orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara bisa dikenakan hukuman berat. Sedangkan Pasal 3 menjerat siapa saja yang menyalahgunakan wewenang atau jabatan untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan keuangan negara.
Polres Sinjai Terkesan Tertutup Terkait Penangkapan Solar Ilegal
“Kedua pasal ini bisa diterapkan jika ada bukti bahwa distribusi solar subsidi dilakukan dengan sengaja dan melibatkan pembiaran atau kerja sama antara perusahaan dan oknum aparat” ujar Farid saat dimintai tanggapan Kamis (19/06/2025)
Regulasi yang mengatur tata kelola sektor minyak dan gas bumi juga memperkuat potensi pidana dalam kasus ini. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan dengan tegas bahwa setiap pengangkutan dan niaga bahan bakar minyak harus memiliki izin resmi.
Pasal 53 dan Pasal 55 dari UU tersebut memberikan sanksi pidana hingga 6 tahun penjara dan denda miliaran rupiah bagi pelaku pengangkutan tanpa izin atau penyalahgunaan distribusi BBM.
Polres Sinjai Terus Kembangkan Kasus ‘Penyelundupan Solar Ilegal’ Sebanyak 442 Jerigen
Hal ini diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang menetapkan bahwa hanya konsumen tertentu yang berhak menggunakan BBM bersubsidi, dan proses distribusinya harus sesuai prosedur resmi dari badan usaha penyalur.
“Pelanggaran terhadap regulasi tersebut bukan hanya bentuk pelanggaran administratif,” ucap Farid.
Dia menegaskan bahwa karena solar subsidi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka setiap penyalahgunaan otomatis berdampak pada keuangan negara.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa subsidi merupakan bagian dari belanja negara.
“Maka, jika dialihkan ke pihak yang tidak berhak, negara mengalami kerugian yang nyata,” ujar Farid.
Tak hanya itu, Farid juga menyinggung potensi keterlibatan pejabat publik. Dalam konteks hukum korupsi, tidak diperlukan tindakan aktif untuk bisa dijerat pidana. Pembiaran atau kelalaian yang disengaja, terutama oleh pejabat yang memiliki otoritas pengawasan, sudah cukup untuk dikenakan pasal penyalahgunaan wewenang.
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan dasar hukum untuk menindak oknum di tingkat pemerintah daerah yang gagal menjalankan fungsi pengawasan atau bahkan ikut terlibat dalam praktik tersebut.
Selain itu, berbagai peraturan teknis dari Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) seperti SK BPH Migas Nomor 13 Tahun 2005 yang mengatur sistem distribusi BBM subsidi dan kuota wilayah juga memiliki implikasi hukum. Bila distribusi dilakukan melebihi kuota, menggunakan dokumen palsu, atau tidak dilaporkan ke BPH Migas, maka perusahaan pelaku bisa dikenai sanksi administratif dan pidana, serta diperiksa sebagai bagian dari kejahatan korporasi.
Sementara itu, di lapangan, aparat Polres Bantaeng menyatakan masih melakukan pendalaman atas kasus ini. Sejumlah saksi telah diperiksa, namun belum ada informasi resmi mengenai status tersangka. Farid menekankan agar penyelidikan tidak berhenti pada sopir atau petugas lapangan semata.
Menurutnya, praktik penyimpangan BBM subsidi selama ini hampir selalu melibatkan jejaring aktor dari hulu ke hilir yakni dari oknum perusahaan, pengepul, hingga pejabat yang melindungi atau menerima keuntungan dari transaksi ilegal tersebut.
Polisi Amankan Truk PT. Ronal Jaya Energi Saat Bongkar Solar ‘Ilegal’ 5 Tonk Di Bantaeng
“PUKAT Sulsel menilai bahwa kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar lebih dalam jaringan mafia migas yang selama ini menggerogoti anggaran subsidi energi,” tegas Farid.
Ia menekankan pentingnya aparat penegak hukum menggunakan pendekatan multi-regulasi dalam mengusut tuntas kasus seperti ini.
Polisi Amankan Truk PT. Ronal Jaya Energi Saat Bongkar Solar ‘Ilegal’ 5 Tonk Di Bantaeng
“Kalau hanya dilihat dari sisi pelanggaran izin atau kelengkapan dokumen, maka mafia solar akan terus bebas berkeliaran. Harus dilihat sebagai potensi korupsi terstruktur, sistematis, dan masif,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan dasar untuk memperluas penyidikan dengan menelusuri dokumen, aliran dana, hingga peran para pihak yang terlibat secara tidak langsung.
Bila ditemukan adanya pemalsuan dokumen atau penipuan dalam pengangkutan, maka pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 374 (penggelapan dalam jabatan) dan Pasal 378 (penipuan) KUHP.
Tambang Galian C di Kab. Gowa Diduga Ilegal, GARIK Desak APH Tangkap Penambang dan Penadah
Dengan kerangka hukum yang lengkap, negara sejatinya memiliki instrumen yang kuat untuk memberantas kejahatan di sektor energi. Farid Mamma mengingatkan, jangan sampai aparat hukum bersikap setengah hati dalam mengusut kasus-kasus seperti ini.
“Solar subsidi itu bukan barang gratis, tapi hasil jerih payah rakyat lewat APBN. Ketika diselewengkan, maka negara bukan hanya rugi uang, tapi juga kehilangan wibawa,” pungkasnya.