MAKASSAR, MATANUSANTARA -– Setelah era panjang kepemimpinan militer berakhir pada 1994, dan memasuki masa Reformasi pasca-1998, Kota Makassar memasuki babak baru dengan pola kepemimpinan yang lebih variatif. Tidak lagi didominasi satu latar belakang tertentu, kursi Wali Kota kini diisi oleh berbagai figur dari jalur independen, partai politik besar, hingga pengusaha sukses.
Pada awal Reformasi, kursi Wali Kota sempat diisi oleh tokoh-tokoh berlatar belakang politik, seperti H. Ilham Arief Sirajuddin yang memimpin dua periode (2004–2014) melalui dukungan partai besar. Di periode ini, visi pembangunan mulai mengedepankan branding kota, revitalisasi ruang publik, dan konsep “Makassar Tidak Rantasa”.
Mata Nusantara Hadir, Media Online Independen, Pengawal Keadilan dan Aspirasi Rakyat
Pola kepemimpinan berubah drastis pada Pilkada 2013 ketika Danny Pomanto, seorang arsitek dan pengusaha, memenangkan kursi Wali Kota dari jalur independen. Kemenangannya menjadi catatan sejarah karena membuktikan bahwa figur non-partai mampu mengalahkan mesin politik besar di Makassar.
Sejak itu, panggung politik Makassar diwarnai persaingan terbuka antara calon dari partai besar dan figur independen, bahkan ada yang kembali berlaga lewat koalisi lintas partai. Dinamika ini mencerminkan semakin terbukanya ruang demokrasi lokal, di mana masyarakat memiliki banyak pilihan figur sesuai visi dan rekam jejak masing-masing.
Jejak 34 Tahun Wali Kota Militer di Makassar, Begini Sejarahnya!
Pengamat politik menilai, keberagaman latar belakang Wali Kota Makassar di era reformasi menunjukkan bahwa identitas kota ini tidak lagi terpaku pada satu jalur kekuasaan, tetapi pada kemampuan figur untuk membangun jaringan, menyusun program, dan menarik simpati warga.
Editor: Ramli
