MAKASSAR, MATANUSANTARA, –Keputusan Pengadilan Negeri Makassar yang mengabulkan permohonan praperadilan seorang anggota Sikum Polrestabes Makassar memantik respons tajam dari sejumlah pegiat hukum. Salah satunya datang dari Direktur Pusat Kajian Advokasi Antikorupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan, Farid Mamma.
Farid menyebut putusan ini bukan hanya kemenangan administratif belaka, melainkan tamparan hukum yang seharusnya menyentak kesadaran institusi kepolisian tentang pentingnya disiplin prosedural.
Laksanakan Operasi KRYD, Kapolrestabes Makassar Pimpin Apel
“Praperadilan bukan cuma mekanisme formal, melainkan penjaga konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Saat hakim mengabulkan permohonan, artinya ada yang keliru secara mendasar dalam proses penyidikan,” ujar Farid kepada awak media, Rabu, 18 Juni 2025.
Di Balik Putusan
Kasus ini bermula dari penangkapan seorang anggota Polrestabes Makassar oleh satuan reserse internal dengan dugaan pelanggaran pidana. Namun, melalui kuasa hukumnya, tersangka mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Makassar, mempersoalkan keabsahan penangkapan dan penyitaan barang bukti.
Propam Polrestabes Makassar Tindaki Oknum Sabhara Yang Diduga Represif
Hakim tunggal akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permohonan tersebut. Dalam amar putusannya, disebutkan bahwa proses penahanan dan penyitaan tidak memenuhi syarat sah sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hakim menilai terdapat kelalaian administratif yang mengarah pada pelanggaran prosedural.
Farid menanggapi bahwa putusan ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi jajaran kepolisian, bukan malah dirayakan sebagai pembelaan institusi.
“Ini alarm serius. Jika proses hukum bisa dikoreksi hanya karena surat penangkapan atau penyitaan tidak sah, maka banyak kasus bisa runtuh hanya karena persoalan teknis. Di sinilah kita lihat pentingnya akuntabilitas dalam setiap tahapan hukum,” ujarnya.
Cacat Prosedur, Runtuhnya Perkara
Dalam kajian PUKAT Sulsel, kekeliruan administratif dalam proses hukum kerap kali dijadikan celah untuk menghindari kejaran pidana. Pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur sahnya penangkapan, penyitaan, dan penahanan bukan sekadar formalitas, melainkan jaminan hukum atas hak asasi seseorang.
Farid membeberkan bahwa sesuai Pasal 18 KUHAP, penangkapan harus disertai surat perintah dan diberitahukan kepada keluarga tersangka. Sementara Pasal 21 KUHAP mengatur ketat soal prasyarat penahanan. Jika salah satu tahapan itu dilanggar, maka menurut hukum, segala proses yang mengikuti bisa batal demi hukum.
“Proses hukum tak cukup berlandas pada niat baik. Ia harus sah, tertib, dan akurat secara hukum. Kalau penyidik ceroboh, maka bukan hanya institusi yang dirugikan, tapi juga kepercayaan publik,” tambahnya.
Koreksi Institusional, Bukan Pembelaan Korps
Menurut Farid, praperadilan seharusnya menjadi instrumen evaluasi sistemik, bukan sekadar duel antara pengacara dan penyidik. Ia menekankan bahwa setiap kekalahan praperadilan sejatinya mencerminkan kelemahan sistem internal, dari tata kelola administrasi hingga pemahaman prosedur hukum oleh aparat.
PUKAT Sulsel bahkan mendorong agar setiap putusan praperadilan yang dikabulkan menjadi dasar untuk melakukan audit internal di satuan kerja terkait. Ia mengusulkan agar Divisi Propam maupun pengawas internal turun melakukan verifikasi menyeluruh terhadap cara kerja penyidik.
“Penyidik adalah pengawal hukum. Jika dia keliru dalam bertindak, maka seluruh bangunan keadilan bisa ambruk. Harus ada pengawasan dan pembenahan sistemik, bukan justru menutup mata dengan alasan loyalitas korps,” kata Farid.
Lonceng Pengingat
Putusan praperadilan kali ini, kata Farid, seharusnya menjadi “lonceng pengingat” bagi institusi Polri untuk tidak bermain-main dalam urusan hukum. Apalagi ketika yang menjadi objek penyidikan adalah anggota mereka sendiri.
Mesin Blender Jadi Saksi Bisu Musnahnya Barbuk Sabu 1 Kg Lebih di Mapolrestabes Makassar
PUKAT Sulsel menyatakan akan terus memantau sejauh mana pembenahan dilakukan di tubuh kepolisian pasca putusan tersebut. Mereka juga mendorong Ombudsman dan Komnas HAM untuk turun tangan jika ditemukan indikasi pelanggaran prosedur yang berdampak sistemik.
“Jika hukum bisa ditekuk demi solidaritas internal, maka publik akan kehilangan kepercayaan pada negara. Itu harga yang terlalu mahal untuk dibayar hanya karena abai pada detail prosedur,” tutup Farid.