Ambisi Malaysia Merebut Laut Sengketa, Meski Harus Berhadapan Indonesia-China

By Muh Alif

KUALA LUMPUR, MATANUSANTARA – Perdana Menteri Anwar Ibrahim telah memaparkan Rencana Malaysia ke-13, sebuah peta jalan pembangunan lima tahunan yang mencakup target-target umum pertumbuhan ekonomi. Namun apa yang disampaikan Anwar tentang pertahanan dan keamanan justru menjadi sorotan para pengamat.

Dalam paparannya, Anwar menyampaikan soal fokus pertahanan militer Malaysia ke depannya.

“Kesiapsiagaan untuk menghadapi ancaman kedaulatan dan keamanan di Laut China Selatan akan ditingkatkan secara lebih komprehensif,” ujar Anwar di hadapan anggota parlemen pada Juli lalu.

Soal penguatan sektor pertahanan sebenarnya juga pernah disampaikan pada Rencana Malaysia ke-12 tahun 2021 oleh PM Malaysia ketika itu Ismail Sabri Yaakob, namun hanya gambaran secara umum. Pengamat mengatakan kepada CNA, penyebutan laut sengketa secara khusus kali ini oleh PM Anwar bisa memiliki makna yang mendalam.

Pemerintah Malaysia, kata pengamat, kemungkinan akan mengalokasikan anggaran khusus untuk memantau secara lebih efektif wilayah sumber daya lepas pantai di perairan sengketa, memaksimalkan sumber daya militer guna menghadapi ancaman di laut strategis itu, atau membeli lebih banyak lagi kendaraan udara nirawak (UAV).

“Rencana Malaysia ke-13 pada dasarnya adalah rencana ekonomi strategis, tetapi saya terkejut karena isu kedaulatan juga dimasukkan,” kata Abdul Rahman Yaacob, peneliti program Asia Tenggara di lembaga kajian Lowy Institute, Australia.

“Namun, kekhawatiran Malaysia atas Laut China Selatan bukanlah hal yang mengejutkan. Malaysia memang sedang terus membangun kekuatan militernya di Malaysia Timur.”

Saat ini pemerintahan Putrajaya tengah menambah radar jarak jauh, drone jarak jauh, serta sebuah pangkalan laut baru di Sarawak yang mampu meluncurkan kapal selam untuk memperkuat postur keamanannya di Laut China Selatan.

Para pengamat juga menduga bahwa penyebutan Laut China Selatan dalam dokumen nasional dinilai muncul karena tekanan berkelanjutan dari angkatan laut China serta praktik penangkapan ikan ilegal oleh kapal Vietnam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia di lepas pantai negara bagian Kalimantan dan pesisir timur Semenanjung.

Namun fokus baru ini disinyalir tidak akan sampai mengubah sikap Malaysia yang mengedepankan sikap non-konfrontatif dalam merespons insiden di Laut China Selatan. Pemerintah Malaysia diyakini tetap akan memprioritaskan hubungan bilateral yang kuat dengan negara pengklaim lain demi keuntungan ekonomi bersama.

Selain China, beberapa negara anggota ASEAN juga memiliki klaim atas jalur laut strategis itu termasuk Brunei, Filipina, dan Vietnam.

Thomas Daniel, direktur program kajian kebijakan luar negeri dan keamanan di lembaga kajian Institute of Strategic & International Studies (ISIS) Malaysia, mengatakan kepada CNA bahwa meski China adalah “faktor besar”, namun itu bukan satu-satunya alasan Malaysia memasukkan Laut China Selatan dalam peta jalan pembangunan lima tahunannya.

“China adalah satu-satunya pihak di Laut China Selatan yang punya kemampuan mengubah status quo. Dan Malaysia, selama bertahun-tahun, menghadapi tekanan yang konsisten dari RRC,” ujarnya kepada CNA.

“Tantangan besar lainnya bagi Malaysia sebenarnya adalah praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur oleh armada kapal penangkap ikan Vietnam. Jika berbicara dengan pejabat Malaysia, hal ini lebih mengganggu mereka dibanding RRC”.

Jamil Ghani, kandidat doktor di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Singapura, menyoroti bagaimana kapal penangkap ikan ilegal juga berperan dalam perdagangan manusia dan satwa liar antara Malaysia dan Vietnam.

Faktor-faktor ini, ditambah kehadiran China, klaim tumpang tindih, serta tekanan dari para pemimpin Sabah dan Sarawak di Kalimantan, telah menjadikan keamanan maritim sebagai pilar utama strategi pembangunan nasional Malaysia, ujar Jamil.

“Ini menandai pergeseran dari retorika pertahanan yang tidak jelas ke kebijakan yang dapat diimplementasikan.” tambahnya.

 

ANCAMAN DI LAUT CHINA SELATAN

Data pelacakan yang dapat diakses publik dari Asia Maritime Transparency Initiative di Washington menunjukkan bahwa pada 2024, Penjaga Pantai China berpatroli di Karang Luconia selama 359 ship days, artinya hampir setiap hari ada kapal penjaga pantai yang siaga di lokasi tersebut, kata Jamil.

Ship days merujuk pada jumlah hari sebuah kapal atau sekelompok kapal berada di suatu area tertentu, yang digunakan untuk mengukur intensitas dan durasi patroli maritim.

ZEE Malaysia mencakup wilayah kaya minyak dan gas yang telah menyumbang hampir 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Wilayah ini termasuk Karang Luconia, gugusan terumbu yang sebagian besar berada di bawah permukaan laut dan terletak di antara berbagai lokasi minyak dan gas Malaysia, 155km dari pesisir Sarawak.

China, yang mengklaim sebagian besar Laut China Selatan melalui ‘sembilan garis putus-putus’, kerap memprotes aktivitas Malaysia di Karang Luconia. Malaysia menegaskan akan tetap melanjutkan kegiatan eksplorasi di perairan tersebut.

Jamil mengatakan, kapal Penjaga Pantai China di Karang Luconia juga kerap mendatangi sumur eksplorasi baru Malaysia di lepas pantai Sarawak, bahkan mendekat hingga 1km dari sejumlah anjungan minyak dan gas.

Ia menyebut hal ini sebagai bentuk “tekanan zona abu-abu yang berkelanjutan atas kedaulatan sekaligus infrastruktur energi” Malaysia oleh China. Zona abu-abu adalah istilah untuk menggambarkan tindakan intimidatif tanpa memicu peperangan secara langsung.

Terkait penangkapan ikan, Daniel dari ISIS mengatakan kapal Vietnam menangkap ikan secara ilegal di perairan Malaysia karena stok ikan di perairan mereka menipis akibat besarnya industri perikanan Vietnam.

“Sektor perikanan Malaysia sangat kecil dibanding mereka, dan perairannya tidak terpatroli karena tidak ada aset; kesadaran domain maritim pun minim,” kata Daniel.

“Dan ketika kapal penjaga pantai Malaysia bergerak untuk mencegat, kadang timbul masalah. Nelayan Vietnam dikenal sangat agresif. Beberapa di antara mereka bersenjata. Pernah terjadi tembakan.”

Antara pertengahan 2019 hingga September 2024, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) menahan 598 kapal nelayan yang sebagian besarnya berasal dari Vietnam, ujar Jamil.

“Semakin menambah bahaya di sektor keamanan, sebuah studi pada Januari 2025 mengungkap kapal nelayan komersial telah menjadi jalur penyelundupan organ tubuh satwa liar yang dilindungi serta perdagangan manusia antara Malaysia dan Vietnam,” ujarnya.

Studi yang dilakukan oleh organisasi konservasi kucing liar Panthera, Jeffrey Sachs Center di Universitas Sunway, dan Zoological Society of London, menemukan bahwa menurunnya pemasukan di sektor perikanan telah memicu keterkaitan antara penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, kejahatan satwa liar, serta jaringan kerja paksa.

Ke depannya, Daniel mengatakan, Malaysia sebaiknya membeli aset yang mampu mendeteksi dan berbagi informasi soal pelanggaran dengan unit darat, udara, dan laut lainnya.

“Maksudnya apa? Semoga dengan memperoleh lebih banyak aset laut dan udara yang bisa saling terhubung, baik berawak maupun nirawak, Malaysia dapat meningkatkan kesadaran sekaligus kapasitas untuk merespons,” ujarnya.

Collin Koh, peneliti senior di Institute of Defence and Strategic Studies, RSIS, mengakui bahwa Malaysia menghadapi berbagai tantangan keamanan di zona maritimnya.

Namun menurut dia, tekanan China di Laut China Selatan dekat Kalimantan “jauh lebih sulit diatasi dibandingkan tantangan lainnya”.

Koh mengatakan, penguatan postur keamanan Malaysia di Laut China Selatan juga merupakan upaya Anwar memenuhi kewajibannya kepada dua negara bagian di Pulau Kalimantan yang tengah menuntut otonomi lebih luas, termasuk pengelolaan pendapatan energi.

“Tak bisa dihindari ada dimensi geo-ekonomi dalam hal ini, yang sangat berkaitan dengan kepentingan energi lepas pantai Malaysia di ZEE Kalimantan,” tambahnya.

DRONE, RADAR DAN JET TEMPUR

Daniel mengatakan, komitmen Anwar untuk melindungi wilayah laut menunjukkan bahwa Malaysia harus meningkatkan kemampuan alat utama sistem senjata (alutsista) mereka.

Sejak lama militer Malaysia menghadapi masalah dalam pengadaan, pemeliharaan serta modernisasi alutsista. Masalah ini masih terjadi kendati pemerintahan Putrajaya telah menargetkan kenaikan anggaran pertahanan dari 1,1 persen menjadi 1,5 persen dari PDB pada 2030.

Pada 2024, anggaran pertahanan negara-negara Asia Tenggara berkisar antara 0,78 persen (Indonesia) hingga 4,09 persen (Myanmar) dari PDB masing-masing.

Koh mencatat bahwa pada insiden tahun 2021, Malaysia hanya mampu mengerahkan jet tempur Hawk lama untuk mencegat pesawat tempur China yang terbang mendekati wilayah udaranya di lepas pantai Sabah.

“Secara umum, pembangunan strategis Angkatan Bersenjata Malaysia (MAF) terlihat banyak diarahkan ke Laut China Selatan, selain juga dipicu oleh pertimbangan praktis mengenai semakin usangnya beragam perlengkapan militernya,” ujarnya.

Bagikan Informasi Ini
Tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!