Pandangan Mahasiswa Aceh Terhadap Budaya Pehh Batee di Malam Pesta Pernikahan
Penulis: T. Muhammad Irhamna, S.Ag (Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
ACEH, MATANUSANTARA — Aceh dikenal sebagai negeri dengan 1001 budaya, sebuah wilayah yang identitasnya tidak dapat dipisahkan dari adat istiadat, budaya, dan syariat. Ada ungkapan yang sangat populer dalam khazanah Aceh: “Adat bak Poteumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana.” Ungkapan ini menegaskan bahwa syariat Islam menjadi fondasi utama dalam tata kehidupan masyarakat Aceh, yang berjalan seiring dengan adat dan budaya.
Di balik kuatnya implementasi syariat, Aceh juga memiliki budaya-budaya unik yang terus diwariskan turun-temurun. Salah satunya adalah budaya pehh batee—permainan domino yang lazim dimainkan pada malam pesta pernikahan. Budaya ini sempat meredup karena dianggap berseberangan dengan hukum agama, namun kini kembali muncul ke publik setelah permainan domino dijadikan salah satu cabang olahraga resmi, dengan tujuan mengembangkan kecerdasan, sportivitas, dan prestasi.
Namun, tak sedikit pihak yang kontra. Ada yang menilai permainan domino identik dengan judi. Padahal, jika ditinjau lebih objektif, hukum asal permainan ini sama seperti permainan ludo, catur, sepak bola, maupun permainan tradisional lainnya: mubah, dan paling jauh dapat menjadi makruh jika mengandung unsur yang melalaikan. Karena itu, haram bukan disebabkan oleh permainannya, melainkan unsur perjudian yang mungkin muncul. Jika unsur itu ada, maka semua permainan pun dapat dihukumi haram.
Hingga kini, MPU Aceh belum mengeluarkan fatwa resmi terkait domino sebagai cabang olahraga. Namun, MPU telah menegaskan bahwa permainan ini dapat diperbolehkan selama tidak mengandung judi, tidak melalaikan kewajiban agama, dan tidak disertai maksiat seperti ucapan kotor atau sumpah serapah.
Asal-Usul Pehh Batee: Tradisi Tua yang Tak Tercatat
Menariknya, tidak ada sumber yang dapat memastikan kapan budaya pehh batee mulai hadir di Aceh. Seorang tokoh budayawan pernah bergurau dalam sebuah seminar budaya:
“Budaya peeh batee ini sangat tua sekali, bahkan lebih tua dari ajinomoto apa lagi dengan saya.”
Padahal, tokoh tersebut sudah berusia hampir 80 tahun. Ungkapan itu menunjukkan betapa lamanya budaya ini hidup di tengah masyarakat Aceh. Ketika ditelusuri kepada para orang tua di berbagai daerah, jawabannya juga sama: tidak ada yang tahu kapan tradisi ini bermula. Artinya, budaya pehh batee sudah mengiringi kehidupan masyarakat sejak dahulu kala.
Mengapa Selalu Di Malam Hari?
Pertanyaan besar kemudian muncul: mengapa pehh batee dimainkan pada malam pesta pernikahan, dan dimulai larut malam hingga menjelang Subuh?
Kebiasaan masyarakat Aceh dalam menggelar pesta pernikahan dimulai dari H-1, ketika bahan-bahan seperti daging sapi dipersiapkan, dipotong, dan disimpan. Daging biasanya digantung agar tetap segar hingga pagi. Karena banyak perlengkapan yang harus dijaga sepanjang malam, masyarakat menggunakan permainan pehh batee untuk mengusir kantuk, mengisi waktu, sekaligus menjaga lingkungan tetap hidup.
Permainan ini digemari berbagai kalangan—tua, muda, dan para pemuda gampong—karena selain menyenangkan, pehh batee juga melatih kemampuan berpikir, strategi, dan kerja sama tim. Tak heran, permainan ini menjadi pilihan utama untuk menemani malam panjang menjelang hari pesta.
Perspektif Aksiologi: Nilai Manfaat yang Nyata
Jika ditinjau dari perspektif aksiologi dalam filsafat ilmu, budaya pehh batee mengandung banyak nilai manfaat:
Membantu menjaga perlengkapan dan bahan pesta agar aman dari kehilangan.
Menjadi “alarm hidup” untuk membangunkan tim masak atau panitia menjelang pagi.
Menjaga suasana tetap hidup sehingga warga dapat saling membantu dan berjaga.
Budaya ini tidak merugikan pihak mana pun, sehingga dapat dimainkan secara terbuka tanpa menyalahi nilai sosial masyarakat setempat selama tidak menyalahi aturan agama.
Aceh, Negeri Dengan Kekayaan Budaya Tak Ternilai
Selain pehh batee, Aceh masih memiliki banyak tradisi lain yang patut dijaga, seperti tradisi jep kupi bengoh, tradisi jak beut drahh, dan ragam budaya lainnya yang menunjukkan betapa kayanya peradaban Aceh. Ada sebuah ungkapan menarik:
“Di Aceh koen hanya ceurita kopi ngoen rencong, tapi na beut dan na ureung semeubeut.”
Aceh bukan hanya tentang simbol, tetapi tentang manusia yang menjaga dan merawat budaya itu sendiri.
Maka, tak heran Aceh layak disebut sebagai negeri 1001 budaya, tempat di mana tradisi lama terus hidup berdampingan dengan syariat dan modernitas.
Editor: Ramli
Sumber: Ahmad

Tinggalkan Balasan