JAKARTA, MATANUSANTARA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Kejaksaan. Perkara ini diajukan Anak Agung Ngurah Kharan Gustra Ananta, lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang menggugat frasa “sehat jasmani dan rohani” dalam syarat menjadi jaksa, Selasa 05 Agustus 2025.
Pemohon menilai frasa tersebut multitafsir dan berpotensi diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, khususnya buta warna parsial. Ia mengaku keinginannya menjadi jaksa terhalang karena diagnosis tersebut dianggap tidak memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani.
Informasi Penting, MK Putuskan Pemilu Nasional dan Pilkada Dilaksanakan Terpisah
Menurut Pemohon, profesi jaksa tidak bekerja sendirian memeriksa barang bukti, melainkan berkolaborasi dengan pihak lain dalam sistem peradilan pidana. Ia juga mengutip riset oftalmologi (Neitz J & Neitz M, 2011) yang menunjukkan penyandang buta warna parsial tetap memiliki ketajaman visual dan kognisi normal sehingga mampu bekerja secara produktif.
Berdasarkan itu, Pemohon meminta MK menyatakan frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup penyandang buta warna parsial.
Delapan Proyek Jalan Provinsi Sulsel Dipantau KPK, Berikut Daftarnya
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta Pemohon lebih memahami filosofi syarat sehat jasmani dan rohani yang lazim dicantumkan dalam berbagai undang-undang, khususnya bagi aparat penegak hukum. Enny juga menyarankan agar Pemohon melengkapi bukti, termasuk dokumen penolakan menjadi jaksa akibat diagnosis buta warna parsial.
Putusan MK nantinya akan menjadi preseden penting dalam pengaturan syarat rekrutmen aparat penegak hukum, terutama terkait kesetaraan bagi penyandang disabilitas.