Dari Dunia Gelap Jadi Penulis, Lalu Gugur Sebagai Pejuang Rakyat: Apakah Sosok Seperti Ini Masih Ada?
INDONESIA, MATANUSANTARA — Halo sahabat Mata Nusantara yang setia mengikuti suara-suara kebenaran, hari ini redaksi mengangkat kembali kisah seorang tokoh yang seharusnya menjadi standar integritas setiap jurnalis di negeri ini.
Nama itu: Abi Kusno Nachran, lahir di Pangkalan Bun pada 1941.
Abi bukan sekadar dikenang. Ia adalah kompas moral yang seharusnya hidup dalam dada setiap jurnalis yang mengaku bekerja untuk rakyat.
Integritas Jurnalis Sejati: Ketika Hati, Nyawa, dan Nurani Menjadi Taruhan
Di negeri ini, ribuan orang memakai kartu pers—tetapi hanya segelintir yang memahami arti resiko ketika memilih berpihak pada kebenaran.
- Jurnalisme bukan gedung redaksi.
- Bukan kamera.
- Bukan papan nama media.
Pada titik itulah, kisah Abi Kusno Nachran berdiri sebagai pengingat paling keras, bahwa integritas tidak lahir dari aman, tetapi dari keberanian menghadapi bahaya.
Abi bukan wartawan besar dengan fasilitas lengkap. Ia hanya seorang pria paruh baya dari Pangkalan Bun yang setelah pulang haji tersadar bahwa hidupnya pernah ikut merusak amanah Tuhan menjaga hutan Kalimantan.
Kesadaran itu berubah menjadi tekad. Tekad itu menjadi nyala. Dan nyala itu akhirnya menjadi keberanian yang melampaui logika manusia.
Dari Tinta Menjadi Senjata Perlawanan
- Abi tidak menulis untuk ketenaran.
- Abi tidak memotret demi uang.
- Abi tidak berdiri demi jabatan.
Abi tidak sekadar menulis untuk kepentingam pribadi
- Maka Abi, turun ke lapangan.
- Masuk ke hutan.
- Mengambil bukti.
- Membongkar mafia.
- Menyerahkan hasil investigasinya ke dunia internasional.
Abi turun ke hutan, memotret bukti, membuka tabir mafia kayu, dan menyerahkan data itu kepada dunia internasional. Ia menggunakan pena bukan sebagai alat mencari nafkah, tetapi sebagai alat pertobatan.
Setiap jurnalis profesional seharusnya bertanya pada dirinya sendiri:
- Apakah saya punya keberanian seperti itu?
- Keberanian untuk melawan sistem ketika saya tahu itu benar?
Berdasarkan data yang dirangkum Matanusantara.co.id, Abi Kusno dalam perjuanga menyuarakan kebenaran.
- Dibacok 17 kali.
- Empat jarinya putus.
- Punggungnya terbelah.
- Abi dibiarkan mati di jalanan.
Namun Abi bangkit. Luka itu tidak mematahkan semangatnya justru memurnikan keyakinannya bahwa kebenaran tidak boleh ditawar, apalagi ditinggalkan.
Integritas Seorang Jurnalis: Cermin dari Tubuh Penuh Luka
Integritas tidak diukur dari seberapa aman tulisanmu, tetapi dari risiko yang bersedia kau tanggung demi kebenaran.
Jurnalis sejati harus membaca kehidupan Abi sebagai kitab pedoman:
- Bahwa kebenaran selalu punya musuh,
- Bahwa keadilan tidak lahir dari tangan pengecut,
- Bahwa rakyat kecil menunggu suara yang tak bisa dibeli,
- Bahwa profesi ini hanya pantas disandang oleh mereka yang berpihak pada nurani.
Dalam perjuangannya, Abi Kusno akhirnya menjadi senator.
Bukan karena ambisi politik tetapi karena rakyat tahu tubuh penuh luka itu lebih jujur daripada seribu janji kampanye.
Ketika Abi berdiri sebagai wakil rakyat, tangan kirinya yang tinggal satu jari bukan simbol kecacatan. Itu adalah prasasti sejarah: bahwa integritas lebih kuat daripada parang mana pun.
Jurnalis yang benar harus punya hati seperti Abi.
- Hati yang tidak bisa dibeli.
- Hati yang rela mengorbankan kenyamanan demi suara rakyat.
- Hati yang tetap tegak meski keluarganya ikut diteror.
Karena jurnalisme sejati bukan soal popularitas, bukan pageview, bukan viralitas.
Jurnalisme sejati adalah keberanian mengatakan yang benar ketika dunia memilih diam.
Dan jika hari ini para jurnalis bertanya apa standar moral profesi ini, jawabannya jelas, standar itu bernama Abi Kusno Nachran seorang pria yang mati demi kebenaran yang tak pernah ia tinggalkan.
Kilometer Terakhir: Saat Nyawa Abi Direbut dalam Kesunyian
Dilansir dari portal-islam.id
- Abi lahir di Pangkalan Bun pada 1941.
- Awal 2000-an ia mulai mengungkap mafia kayu.
- 28 November 2001 ia hampir dibunuh.
- Tahun 2004 ia dipercaya rakyat sebagai wakilnya.
- Tahun 2006 ia masih berjuang menjaga hutan agar tidak punah.
- Hidupnya berakhir pada 24 Juli 2006.
Di kilometer sunyi Tol Palimanan–Kanci, Cirebon, mobil yang ia tumpangi ringsek di sisi kiri tepat di tempat ia duduk.
- Tidak ada lampu kamera.
- Tidak ada jurnalis lain.
- Tidak ada tepuk tangan.
- Tidak ada pengawalan.
Di kilometer sunyi di Jalan Tol Palimanan–Kanci, Cirebon, mobil yang ia tumpangi ringsek di sisi kiri tepat di tempat ia duduk. Tidak ada kamera, tidak ada wartawan, tidak ada upacara.
Abi tewas dalam kesunyian.
Ironis, karena kesunyian itu adalah buah dari perjuangannya menyelamatkan hutan negeri ini.
Tubuhnya terkulai, namun wajahnya tetap tenang. Seolah ia sudah berdamai dengan kematian sejak hari pertama ia memerangi para raja kayu. Saksi yang tiba pertama kali melihat sesuatu yang tak mereka lupakan:
Tangan kiri Abi yang hanya tersisa satu jari terangkat sedikit, seakan masih mencoba menunjuk tugas yang belum selesai.
Dan yang paling pedih:
Abi Kusno tidak mati karena lemah. Ia mati karena terlalu berani.
Bagi jurnalis sejati, kematiannya bukan akhir.
Ia adalah peringatan bahwa kebenaran kadang dibayar dengan nyawavdan Abi Kusno membayar lunas harga itu.
Warisan yang Tak Pernah Tumbang
Abi dimakamkan, tetapi kisahnya tidak.
Ia menjadi legenda, standar moral, dan pengingat bahwa alam Indonesia berdiri bukan hanya oleh pepohonan, tetapi oleh darah orang-orang seperti Abi.
Jika hari ini kita melihat pohon ramin yang tersisa, atau orangutan yang masih berayun bebas,
ingatlah: ada darah seorang jurnalis bernama Abi Kusno yang pernah tumpah agar mereka tetap hidup.
Abi adalah bukti bahwa satu orang dengan nurani bersih lebih kuat daripada sepasukan preman dengan parang. (Ramli)

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan