Mata Nusantara

Akurat Tajam & Terpercaya

Analisis Ekonomi Ungkap Modus Perpajakan di Zaman Jokowi, Langkah Purbaya Dapat Dukungan

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat memberikan pernyataan tegas terkait rencana bersih-bersih di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, di Jakarta, Rabu (22/10/2025).

JAKARTA, MATANUSANTARA — Langkah tegas Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menertibkan jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) mendapat dukungan kuat dari kalangan ekonom.

Salah satunya datang dari analis Lingkar Studi Perjuangan, Gede Sandra, yang menilai gerakan bersih-bersih tersebut sebagai langkah fundamental untuk menutup kebocoran penerimaan negara yang sudah mengakar selama pemerintahan sebelumnya.

Tangis Ibu Rumah Tangga di Bulukumba Pecah Usai Ketahuan Bawa Sabu, Akui Terdesak Ekonomi

Menurut Gede, selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, praktik penyimpangan dalam pelaporan transaksi ekspor-impor atau miss invoicing terjadi dalam skala luar biasa.

“Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, diduga, marak praktik miss invoicing yang nilainya diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun per tahun. Alhasil, negara kehilangan potensi penerimaan yang angkanya pastilah gede,” kata Gede di Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Prabowo Lantik 10 Duta Besar Baru RI, Dorong Diplomasi Ekonomi Global

Ia menjelaskan, miss invoicing dilakukan dengan dua cara. “Kalau under itu, angka transaksinya dikecilin. Kalau over berarti digedein. Tujuannya sama, untuk menghindari pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), bea keluar dan lain-lain,” ungkapnya.

Lebih jauh, Gede menilai praktik tersebut menjadi salah satu penyebab utama defisit keuangan negara yang semakin membebani pemerintahan. “Modus under invoice itu adalah mengakali laporan transaksi seolah-olah kecil. Sehingga tidak kena pajak. Atau pajaknya rendah. Demikian pula sebaliknya,” jelasnya.

Data Lengkap Pertumbuhan Ekonomi Nasional Kuartal II 2025 di Indonesia

Ia memperkirakan, jika kebocoran akibat miss invoicing dapat ditekan minimal 20 persen saja, negara berpotensi menyelamatkan sekitar Rp200 triliun per tahun. Dana sebesar itu, kata dia, bisa menopang berbagai program pembangunan di era pemerintahan Presiden Prabowo.

“Para menteri tak galau lagi soal pemangkasan anggaran, kepala daerah enggak mumet mikirin TKD berkurang. Program MBG, Kopdes dan Sekolah Rakyat berjalan lancar. Enggak perlu ribut soal anggaran, karena kas negara terisi penuh,” ujarnya.

NTB Terpuruk, Ekonomi Minus 0,82 Persen di Kuartal II 2025

Menurut Gede, penyegaran aparatur di lingkungan DJP dan DJBC menjadi keharusan mutlak. “Perlu darah segar di kedua lembaga itu. Makanya kita mendukung seribu persen langkah bersih-bersih dari Menkeu Purbaya. Meski itu tak mudah karena akan banyak dinamikanya,” pungkasnya.

Sementara itu, Menkeu Purbaya sebelumnya menegaskan akan mengambil tindakan tegas terhadap pegawai DJP dan DJBC yang terlibat pelanggaran.

Sulsel Bertahan di Peringkat 22, Ekonomi Tumbuh 4,94 Persen

“Kalau riil sektor dijaga, barang-barang selundupan saya tutup, yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden. Presiden itu paling tinggi, kan, di sini,” ujar Purbaya di Jakarta, Sabtu (16/10/2025).

Ia juga menyoroti banyaknya praktik kecurangan di lapangan yang melibatkan oknum bea cukai. “Banyak barang selundupan ke sini, yang katanya, orang bea cukainya tidak benar kerjanya,” tutur dia.

Maluku Utara Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Tembus 7,95 Persen

Lebih lanjut, Purbaya mengaku telah memanggil jajaran Ditjen Bea Cukai untuk meminta penjelasan. “Dirjen Bea Cukai saya kan (Jenderal) bintang tiga, kalau bintang empat (backing), kita lapor ke Presiden,” jelasnya.

Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun, namun hingga awal Oktober baru tercapai 62,4 persen. Sedangkan realisasi penerimaan bea cukai baru mencapai 73,4 persen dari target Rp301,59 triliun. Rendahnya capaian ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa kebocoran penerimaan masih menjadi masalah serius yang harus segera ditangani.

Editor: Ramli

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini
error: Content is protected !!
Exit mobile version